Hujan dan Filosofi Kopi
Sore ini aku sedang menikmati aroma tanah yang menguap dari tetesan air hujan. Entah kenapa aku selalu suka aromanya, seperti aroma kopi yang baru diseduh dengan air mendidih, baunya khas dan menenangkan.
Selalu ada cerita dan perenungan di saat hujan dan hujan kali ini membuatku menyadari beberapa hal yang telah aku jalani selama beberapa bulan terakhir. Ada banyak hal baru yang aku temui namun ada juga yang secara tidak sadar nyaris aku tinggalkan.
Rintik hujan yang syahdu mengingatkanku akan beberapa cerita yang ada dalam buku Filosofi Kopi yang ditulis oleh Dee. Entah sudah berapa kali aku membacanya hingga nyaris hapal namun sama sekali tidak membosankan. Harus diakui, gaya bercerita Dee yang khas memang memikat.
Mencari Herman (2004), Filosofi Kopi, Dee
Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.
Pepatah bukan sekedar kembang gula susastra, dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelangga susu hanya untuk dirusak setitik nila.Seiring berjalannya waktu, aku makin meyakini bahwa tidak ada yang permanen dalam hidup. Semuanya dinamis. Selalu ada rotasi perubahan, entah itu di poros yang sama atau tidak tapi yang jelas roda hidup akan selalu berputar. Aku sudah merasakan perputarannya, jadi aku harus lebih menghargai apa yang saat ini aku miliki. Harus lebih bersyukur. Harus lebih menyayangi keluarga dan orang-orang terdekat. dan.. yang paling penting adalah menikmati setiap momen dengan penuh rasa syukur dan membuat orang lain berkesan sehingga akan tercipta memori yang baik. Toh, hidup hanyalah soal perjalanan. Segalanya mudah saja datang dan pergi.
Filosofi Kopi - soniafaried on March 2, 2013
Comments
Post a Comment